Oleh: Ahmad Y. Samantho*
(Peneliti dan Dosen di The Islamic College Jakarta – Universitas Paramadina)
Dari Peradaban awal manusia di Atlantis (Nusantara) ke Plato lalu kembali Indonesia kini.
“Setiap umat mempunyai batas waktu
(ajal-nya), makakala ia telah tiba, maka mereka tidak akan bisa
mengundurkannya sesaat pun, tidak pula mereka bisa memajukannya.” (QS
7:34)
Bulan-bulan
ini bangsa Indonesia diharu-biru oleh berbagai isu, ketegangan konflik
dan meningkatnya suhu politik, serta berbagai perilaku aneh para
politisi dan kontestan pemilu caleg yang gagal. Ada yang stress,
depresi berat, lalu gila. Ada yang ‘mutung’ mengambil kembali barang
bantuannya yang sudah diberikannya ketika kampanye tapi gagal menang
pileg. Bahkan tidak sedikit yang bunuh diri, dan-atau melakukan
pembunuhan.
Fenomena-fenomena aneh dalam praktek kehidupan sosial dan sistem politik bangsa Indonesia saat ini semakin memperlihatkan praktek dan perwujudan cara berfikir
(filsafat/pandangan dunia) yang jauh dari realisasi asasi nilai-nilai
luhur Panca Sila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyaratan-perwakilan”. Jelasnya hampir semua (sebagian besar)
perilaku sosial-politik bangsa Indonesia kini didominasi kendali paham
pikir keserakahan materialistis. Prinsip falsafah Pancasilais:
”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” telah
tergusur oleh falsafah ”Keuangan yang maha kuasa” dan ”Kebinatangan
yang zalim dan biadab”.
Praktek kehidupan sosial-politik dan
ekonomi anak bangsa tak lagi terpimpin oleh semangat kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmah-Kebijaksaan. Demokrasi masih menjadi sekedar
menjadi alat formal-prosedural pengumpul legitimasi untuk berkuasanya
para elite politik-ekonomi. Paling tidak itulah yang dirasakan oleh
beberapa pengamat dan tokoh-tokoh yang prihantin dengan kondisi bangsa
Indonesia saat ini.
Lalu
apa hubungannya dengan Plato, filosof kelahiran Yunani (Greek
philosopher) yang hidup 427-347 Sebelum Masehi (SM)? Plato adalah salah
seorang murid Socrates, filosof arif bijaksana, yang kemudian mati
diracun oleh penguasa Athena yang zalim pada tahun 399 SM. Setelah
kematian gurunya, Plato sering bertualang, termasuk perjalanannya ke
Mesir.
Pada tahun 387 SM dia kembali ke Athena
dan mendirikan Academy, sebuah sekolah ilmu pengetahuan dan filsafat,
yang kemudian menjadi model buat universitas moderen. Murid yang paling
terkenal dari Academy tersebut adalah Aristoteles yang ajarannya punya
pengaruh yang hebat terhadap filsafat sampai saat ini.
Demi pemeliharaan Academy, banyak karya
Plato yang terselamatkan. Kebanyakan karya tulisnya berbentuk
surat-surat dan dialog-dialog, yang paling terkenal adalah Republic.
Karya tulisnya mencakup subjek yang terentang dari ilmu pengetahuan
sampai kepada kebahagiaan, dari politik hingga ilmu alam.
Dua dari dialognya, Timeaus and Critias, memuat satu-satunya referensi orsinil tentang pulau Atlantis (the island of Atlantis).
Plato menyatakan bahwa puluhan ribu
tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak,
menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan
sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua
yang hilang atau Atlantis.
Penelitian
mutakhir yang dilakukan oleh Prof. Dr. Aryso Santos, menegaskan
teorinya bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut
Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan
buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos
menampilkan 33 perbandingan ciri-ciri dari 12 lokasi di muka bumi yang
diduga para sarjana lain sebagai situs Atlantis, seperti luas
wilayahnya, cuacanya, kekayaan alamnya, gunung berapinya, dan cara
bertaninya, dll. yang akhirnya Santos menyimpulkan bahwa Atlantis itu
adalah Indonesia sekarang. Salah satu buktinya adalah sistem terasisasi
sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh
Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Aryso Santos juga menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis dalam penelitiannya. Dia banyak mendapatkan petunjuk dari reflief-relief dari bangunan-bangunan dan artefak bersejarah dan piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec di Amerika Selatan, candi-candi dan artefak-artefak bersejarah peninggalan peradaban Hindu di lembah sungai Hindustan (Peradaban Mohenjodaro dan Harrapa). Juga dia mengumpulkan petunjuk-petunjuk dari naskah-naskah kuno, kitab-kita suci berbagai agama seperti the Bible dan kitab suci Hindu Rig Veda, Puranas, dll.
Konteks Indonesia Secara Geologis dan Geografis
Menurut Prof. Dr. H. Priyatna Abdul
Rasyid, Ph.D. Direktur Kehormatan International Institute of Space Law
(IISL), Paris-Prancis: bukanlah suatu kebetulan ketika Indonesia pada
tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU No. 4
Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan
bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan
wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu
tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang
menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya
sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori
Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat
letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu
sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era
Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara
bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu,
maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air yang berasal dari
es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan
gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi
di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang
merupakan puncak gunung Toba yang meletus pada saat itu. Letusan yang
paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang
memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat
dataran Sunda.
Kata Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya
(Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu
merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan
alam, ilmu pengetahuan-teknologi, dan lain-lainnya. Plato menduga bahwa
letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia
bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang
berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang
oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo,
Einstein, dan Stephen Hawking.
Santos berbeda dengan Plato mengenai
lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat
terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es di
muka bumi mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah.
Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani
samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit
bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini
mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang
meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang
dahsyat. Santos, dengan mengutip teori para geolog, menamakannya sebagai
Heinrich Events, bencana katastrop yang berdampak global. Beberapa
artikel resume dari buku Aryso Santos ini dipublikasikan di situs
internetnya di http://www.atlan.org.
Menurut Santos, dalam usaha mengemukakan
pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan
dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar.
Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera
Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat
di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua
yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa
yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Priyatna mengatakan: ”Namun, ada
beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat.
Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan
oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua,
jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di
antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung,
Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari
gunung itu telah atau sedang aktif kembali.”
Ketiga, soal semburan lumpur akibat
letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur.
Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan.
Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable
(tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus
di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang
menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada
kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari
masa yang lampau.
Menurut Priyatna, bahwa Indonesia adalah
wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat
kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan
internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia.
Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh
Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.
Koran Republika, Sabtu, 18 Juni 2005 menulis bahwa para peneliti AS menyatakan bahwa Atlantis is
Indonesia. Hingga kini cerita tentang benua yang hilang ‘Atlantis’
masih terselimuti kabut misteri. Sebagian orang menganggap Atlantis cuma
dongeng belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal Atlantis telah ditulis
oleh para pakar.
Bagi para arkeolog atau oceanografer
moderen, Atlantis tetap merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki
di mana sebetulnya lokasi sang benua. Banyak ilmuwan menyebut benua
Atlantis terletak di Samudera Atlantik.
Sebagian arkeolog Amerika Serikat (AS)
bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama
Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan
Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang
banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
”Para peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is
Indonesia,” kata Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof
Umar Anggara Jenny, Jumat (17/6), di sela-sela rencana gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005.
Kata Umar, dalam dua dekade terakhir
memang diperoleh banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul
manusia. Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa adanya sebuah
pulau besar sekali di Laut Cina Selatan yang tenggelam setelah zaman es.
Hipotesa itu, kata Umar, berdasarkan
pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang
arkeologi molekuler. Tema ini, lanjutnya, bahkan menjadi salah satu hal
yang diangkat dalam simposium internasional di Solo, 28-30 Juni 2005
Menurut Umar, salah satu pulau penting
yang tersisa dari benua Atlantis — jika memang benar — adalah Pulau
Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna
diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua.
Bangsa Austronesia diyakini memiliki
tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang
disebut-sebut dalam mitos Plato. Ketika zaman es berakhir, yang
ditandai tenggelamnya ‘benua Atlantis’, bangsa Austronesia menyebar ke
berbagai penjuru.
Mereka lalu menciptakan keragaman budaya
dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya dalam tempo cepat
yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau. Kini rumpun Austronesia
menempati separuh muka bumi.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
(IAAI), Harry Truman Simanjuntak, mengakui memang ada pendapat dari
sebagian pakar yang menyatakan bahwa benua Atlantis terletak di
Indonesia. Namun hal itu masih debatable.
Yang jelas, terang Harry, memang benar
ada sebuah daratan besar yang dahulu kala bernama Sunda Land. Luas
daratan itu kira-kira dua kali negara India. ”Benar, daratan itu hilang.
Dan kini tinggal Sumatra, Jawa atau Kalimantan,” terang Harry. Menurut
dia, sah-sah saja para ilmuwan mengatakan bahwa wilayah yang tenggelam
itu adalah benua Atlantis yang hilang, meski itu masih menjadi
perdebatan yang perlu diverifikasi secara ilmiah oleh berbagai pihak
yang berwenang (otoritatif), misalnya Badan Arkeologi Nasional RI.
Dominasi Austronesia
The biblical flood really did occur –
at the end of the last Ice Age. The Flood drowned for ever the huge
continetal shelf of Southeast Asia, and caused a population dispersal
which fertilized the Neolithic cultures of China, India, Mesopotamia,
Egypt and the eastern Mediterranean, thus creating the first
civilizations. The Polynesians did not come from China but from the
islands of Southeast Asia. The domestication of rice was not in China
but in the Malay Peninsula, 9,000 years ago. In this ground breaking new
book Stephen Oppenheimer reveals how evidence from oceanography,
archaeology, linguistics, genetics and folklore overwhelmingly suggests
that the lost ‘Eden’ – the cradle of civilization – was not in the
Middle East, as is usually supposed, but in the drowned continent of
Southeast Asia. ( Stephen Oppenheimer)http://www.bradshawfoundation.com/stephenoppenheimer/reading.html
Menurut Umar Anggara Jenny, Austronesia
sebagai rumpun bahasa merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah
manusia. Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih
dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau
Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300
juta orang.
”Pertanyaannya dari mana asal-usul
mereka? Mengapa sebarannya begitu meluas dan cepat yakni dalam 3500-5000
tahun yang lalu. Bagaimana cara adaptasinya sehingga memiliki keragaman
budaya yang tinggi,” tutur Umar.
Salah satu teori, menurut Harry Truman,
mengatakan penutur bahasa Austronesia berasal dari Sunda Land yang
tenggelam di akhir zaman es. Populasi yang sudah maju,
proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia daratan hingga ke
Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban.
Konteks Indonesia secara Filosofis dan Spiritual
Secara filosofis dan historis, apa yang telah dirumuskan oleh para Founding Fathers Republik
Indonesia menjadi Panca Sila, apakah secara langsung atau tidak,
mungkin terinspirasi atau ada kemiripan (paralelisme) dengan konsep
Plato tentang “Negara Ideal” yang tertulis dalam karyanya “Republic”.
Konsep Plato tentang sistem kepemimpinan masyarakat dan siapa yang
berhak memimpin bangsa, bukanlah berdasarkan sistem demokrasi
formal-prosedural yang liberal ala demokrasi Barat (Amerika) saat ini.
Secara sederhana konsep kepemimpinan Platonis adalah “King Philosopher” atau “Philospher King”. Konsep ini Plato dapatkan dari kisah tentang sistem pemerintahan dan negara Atlantis.
Menurut Plato suatu bangsa hanyalah akan
selamat hanya bila dipimpin oleh orang yang dipimpin oleh “kepala”-nya
(oleh akal sehat, ilmu pengetahuan dan hati nuraninya), dan bukan oleh
orang yang dipimpin oleh “otot dan dada” (arogansi), bukan pula oleh
“perut” (keserakahan), atau oleh “apa yang ada di bawah perut” (hawa
nafsu). Hanya para filosof, yang dipimpin oleh kepalanya, yaitu para
pecinta kebenaran dan kebijaksanaan-lah yang dapat memimpin dengan
selamat, dan bukan pula para sophis (para intelektual pelacur,
demagog) seperti orang kaya yang serakah (tipe Qarun, “manusia perut”
zaman Nabi Musa), atau tipe Bal’am (ulama-intelektual-penyihir yang
melacurkan ilmunya kepada tiran Fir’aun). Plato membagi jenis karakter
manusia menjadi 3: “manusia kepala” (para filosofof-cendikiawan-arif
bijaksana), “manusia otot dan dada” (militer), dan “manusia perut” (para
pedagang, bisnisman-konglomerat). Negara akan hancur dan kacau bila
diserahkan kepemimpinannya kepada “manusia otot-dada” atau “manusia
perut”, menurut Plato.
Dr. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan dalam konteks terminologi agama mutakhir: Islam, istilah Philosophia atau Sapientia, era Yunani itu identik dengan terminologi Hikmah dalam al-Qur’an. Istilah Hikmah terkait dengan Hukum
(hukum-hukum Tuhan Allah SWT yang tertuang dalam Kitab-Kitab Suci para
Nabi dan para Rasul Allah, utamanya Al-Qur’an al-Karim, dan Sunnah
Rasulullah terakhir Muhammad SAW, yang telah merangkum dan melengkapi
serta menyempurnakan ajaran dan hukum rangkaian para nabi dan rasul
Allah sebelumnya. Hukum yang berdasarkan dan bergandengan dengan Hikmah, bila ditegakkan oleh para Hakim dalam sebuah sistem Hukumah
(pemerintahan) inilah yang akan benar-benar dapat merealisasikan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah-kebijaksanaan
dalam permusyawaratan-perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Maka semakin jelaslah mengapa konsep
kepemimpinan berdasarkan Panca Sila itu terkait erat dengan konsep
kepemimpinan negara versi Plato, karena ia mengambilnya dari peradaban
tertua yang luhur dari peradaban umat manusia pertama (Adam As dan
keturunannya) yang mendapat hidayah dan ilmu langsung dari Tuhan YME:
Allah SWT. Dan entah benar atau tidak, lokasinya adalah di Nusantara
(Asia Tenggara).
Surga Atlantis, Yunani dan Indonesia
Plato mendapatkan ilham filsafat
politiknya serta informasi tentang peradaban dan perikehidupan bangsa
antik yang luhur Atlantis, dari Socrates gurunya, juga dari jalur
kakeknya yang bernama Critias. Di mana Critias mendapatkan berita
tentang Atlantis dari Solon yang mendapatkannya dari para pendeta
(ruhaniawan) di Mesir kuno.
Menurut
penelitian Aryso Santos, para pendeta (rohaniwan) Mesir kuno ini,
mewarisi informasi tentang Atlantis ini dari para leluhurnya yang
berasal dari Hindustan (India yang merupakan peradaban Atlantis ke-2)
dari peradaban bangsa Atlantis pertama di Sunda Land (Lemuria) atau
Nusantara. Aryso Santos juga menemukan banyak informasi-informasi yang
mengarahkan kesimpulannya dari artefak-artefak dan situs bersejarah di
Mesir.
Aryso Santos juga menemukan bahwa cerita
tentang Atlantis terkait dengan kisah para “dewa’ dalam mitologi Yunani
dan perikedupan manusia pertama, keluarganya dan masyarakat
keturunannya,. Cerita ini ada kemiripan dengan kisah Zeus dalam mitology
dan legenda Yunani, juga dengan kisah dalam kitab suci Hindu Rig Veda, Puranas, dll. “All
nations, of all times, believed in the existence of a Primordial
Paradise where Man originated and developed the fist civilization ever.
This story, real and true, is told in the Bible and in Hindu Holy Books
such a the Rig Veda, the Puranas and
many others. That this Paradise lay “towards the Orient” no one doubts,
excepting some die-hard scientists who stolidly hold that the different
civilizations developed independently from each other even in such
unlikely, late places such as Europe, the Americas or the middle of the
Atlantic Ocean. This, despite the very considerable contrary evidence
that has developed from essentially all fields of the human sciences,
particularly the anthropological ones. It is mainly on those that we
base our arguments in favor of the reality of a pristine source of human
civilization traditionally called Atlantis or Eden, etc.” tulis Aryso Santos.
Yang cukup mengejutkan adalah bahwa
Peradaban kuno Atlantis, yang kemungkinan adalah peradaban pertama umat
manusia, justru sudah beradab (civilized) dan punya kemampuan sains dan
teknologi, dan sistem kemasyarakatan dan ketatanegaraan ideal yang cukup
maju yang tak terbayangkan oleh kita sekarang itu dapat terjadi 11.600
tahun yang lalu. Dari sudut pandang umat Islam, hal ini tidaklah
mengherankan, karena Nabi Adam, sebagai manusia (kalifatullah) pertama
telah diajari Allah semua ilmu pengetahuan tentang nama-nama (QS 2 : 30)
Sebuah bangsa kepulauan, yang menurut
anggapan Plato berlokasi di tengah Samudra Atlantik, dihuni oleh suatu
ras manusia yang mulia dan sangat kuat (noble and powerfull).
Rakyat tanah air tersebut sangat makmur sejahtera yang sangat bersyukur
atas segala karunia sumber daya alam yang diketemukan di seantero
kepulauan mereka. Kepulauan itu adalah sebuah pusat perdagangan dan
kegiatan komersial. Pemerintahan negeri itu memperjalankan para
penduduknya untuk memperdagankan hasil buminya sampai ke Afrika dan
Eropa
Negara Atlantis.
Menurut cerita Plato Atlantis adalah wilayahnya Poseidon, dewa laut.
Ketika Poseidon jatuh cinta kepada wanita yang bisa mati, Cleito, dia
membuat sebuah sumur di puncak bukit di tengah-tengah pulau dan membuat
kanal-kanal air berbentuk lingkaran cincin di sekitar sumur tersebut
untuk melindungi istrinya itu. Cleito melahirkan lima pasang anak kembar
laki-laki yang menjadi penguasa pertama Atlantis. Negeri pulau itu
dibagi-bagi di antara para saudara laki-lakinya. Yang tertua, Atlas,
raja pertama Atlantis, diberi kontrol atas pusat bukit dan area
sekitarnya.
Pada puncak tengah bukit, untuk
menghormati Poseidon, sebuah bangunan candi, kuil atau istana dibangun
yang menempatkan sebuah patung emas raksasa dari Poseidon yang
mengendarai sebuat kereta yang ditarik kuda terbang. Di sinilah para
penguasa Atlantis biasa mendiskusikan hukum, menentapkan keputusan dan
memberi penghormatan kepada Poseidon.
Untuk memfasilitasi perjalanan dan
perdagangan, sebuah kanal (saluran) air dibuat memotong cincin-cincin
kanal air yang melingkari wilayah, sehingga terbentuk jalan air
sepanjang 9 km ke arah selatan menuju laut.
Kota Atlantis menduduki tempat pada
wilayah luar lingkaran cincin air, menyebar di sepanjang dataran
melingkar sepanjang 17 km. Inilah tempat yang padat penduduk di mana
mayoritas pendudukanya tinggal.
Di
belakang kota terhampar seuatu lahan subur sepanjang 530 km dan selebar
190 km yang dikitari oleh kanal air lain yang digunakan untuk
memngumpulkan air dari sungai-sungai dan aliran air pengunungan.
Iklimnya memungkinkan mereka dapat 2 kali panenan dalam setahun. Pada
saat musim penghujan, lahan disirami air hujan dan pada musim
panas/kemarau, lahan diairi irigasi dari kanal-kanal air.
Mengitari dataran di sebelah utaranya
ada pengunungan yang menjulang tinggi ke langit. Pedesaaan, danau-danau
dan sungai dan meadow menandai titik-titik pengunungan.
Disamping hasil panenan, kepulauan besar
tersebut menyediakan semua jenis tanaman herbal, buah-buahan dan
kacang-kacangan, dan sejumlah hewan termasuk gajah, yang memenuhi
kepulauan.
Dari
generasi ke genarasi orang-orang Atlantean hidup dengan sederhana,
hidup penuh dengan kebaikan. Namun lambat-laun meerka mulai berubah.
Keserakahan dan kekuasaan mulai mengkorupsi mereka. Ketika Maha Dewa
Zeus melihat ketidakdapatmatian (immortality) para penduduk Atlantis,
maka Dia mengumpulkan para dewa lainnya untuk menentukan sebuah hukuman
yang layak bagi mereka.
Segera, dalam sebuah bencana besar mereka lenyap. Kepulauan Atlantis, penduduknya, dan ingatan-ingatanya musnah tersapu lautan.
Ringkasan cerita yang dikisahkan Plato ini sekitar tahun 360 SM dalam dialognya Timaeus and Critias.
Karya tulis Plato ini adalah satu-satunya referensi yang diketahui
mengenai Atlantis. Ini telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan
lebih dari 2 ribu tahun lamanya.
Replika Situs Atlantis telah diketemukan di Sumatra ?
Beberapa orang yang penulis temukan
secara tak sengaja, antara Maret-Mei tahun ini telah mengaku menemukan
jejak-jejak situs yang diduga kemungkinan besar adalah replika situs
Atlantis. Menurut pengakuan mereka, mereka terdorong oleh ilham dan
mimpi serta cerita-cerita tambo, mitos dan legenda yang diwarisi dari
leluhur mereka tentang cerita istana Dhamna yang hilang di tengah pulau
Sumatra, di sekitar perbatasan Propinsi Sumatra Barat, Jambi dan Riau.
Sekitar
6 bulan mereka melakukan riset dan ekspedisi ke lokasi, dengan
partisipasi seorang arkeolog dan panduan beberapa tokoh masyarakat adat
setempat mereka menemukannya di tengah bukit dan hutan yang sukar
dijangkau manusia. Di tempat yang sekarang dikenal sebagai Lubuk Jambi
itu konon telah diketemukan oleh masyarakat setempat berbagai artefak
dan sisa bangunan peninggalan kerajaan Kandis, yang diduga Atlantis itu
di dekat sungai Kuantan Singgigi. Beberapa foto dirimkan oleh mereka
kepada penulis sebagai bukti hasil ekspedisi mereka. Namun demikian,
menurut mereka, tempat tersebut dijaga dan dipelihara, selain oleh
masyarakat adat setempat juga oleh kekuatan makluk supra natural
tertentu yang menjaganya ribuan tahun. Bahkan menurut mereka, jarum
kompas yang mereka bawa ke tempat itu pun tidak bisa berfungsi lagi,
karena pengaruh kutub magnetis bumi pun menjadi hilang di sana. Salah
satu dari tim ekspedisi itu mengaku melihat dan merasakan kehadiran
semacam siluman macan/harimau yang menjaga tempat itu. Wallahu ‘alam bi
shawab.
Lebih lanjut silahkan baca makalah pimpinan team ekspedisi Kandis itu di : http://rhiconan.blogspot.com/2011/06/kerajaan-kandis-adalah-atlantis.html
Namun
terlepas dari benar tidaknya pengakuan mereka, ada juga beberapa pihak
yang mengaitkan diketemukannya bukti-bukti situs Atlantis sebagai
peradaban umat manusia pertama dengan sejarah kehidupan Nabi Adam As dan
anak-cucu keturunannya, dengan prediksi kebangkitan kembali agama-agama
dan spiritualisme dunia menjelang akhir zaman. Ini konon terhubung
dengan persiapan kedatangan Imam Mahdi dan mesianisme kebangkitan
kembali Nabi Isa al-Masih, sebelum kiamat tiba.
Inilah yang mungkin masih menjadi
pertanyaan tersirat ES Ito yang menulis novel Negara Kelima.
Bagaimanakah revolusi menuju negara ke lima itu mendapatkan jalannya?
Nusantara,
Indonesia sekarang, menurut Tato Sugiarto, telah dipersiapkan Tuhan YME
sebagai negeri tempat persemaian dan tumbuh kembangnya kearifan ilahiah
dan shopia perennialis yang berevolusi melalui berbagai agama
dunia dan kearifan-kearifan lokal nusantara, yang merefleksikan falsafah
Bhineka Tunggal Ika. Menurut pria kelahiran 1937, mantan tea taster
dan market analisis PT perkebunan I – IX Sumatara Utara – Aceh, walau
terjadi paradoks –di balik krisis lingklungan seiring dengan krisis
peradaban global, mengutip Alvin Tofler, terjadi pula gejala-gejala
kebangkitan agama-agama, yang paralel dengan kebangkitan spiritualisme
menurut John Naisbit. Ini menutut Tato, adalah pertanda masa transisi
proses kebangkitan umat manusia menyosong tranformasi menuju
“Kebangkitan Peradaban Mondial Millenium Ketiga”.
Gejala
ini juga terlihat jelas di kawasan Nusantara ini, dan pesan-pesannya
pun dipahami para ahli makrifat yang waskita. Walau fenomena ini tampil
paradoksal, namun sesungguhnya bersifat komplementer, merupakan survival instinct manusia. Ini merupakan peringatan dini dalam mengatisipasi apocaliptic threats yang akan hadir di masa datang. Prophetic intelegence yang relevan dengan itu berabad-abad yang lampau sebenarnya telah diisyaratkan dalam Injil dan al-Qur’an sebagai nubuat
(ramalan) Kebangkitan Isa al-Masih (QS 3: 55, QS 19:33) ataupun yang
dalam pagelaran wayang purwo ditampilkan sebagai mitos “Kresna Gugah”.
Tato Sugiarto menjelaskan: Wayang Purwo
warisan Wali Songo adalah “tontonan dan tuntunan” adiluhung yang cocok
dengan semua agama. Tampil sebagai seni budaya yang sarat dengan muatan
aneka ilmu pengetahuan.
Dalam ungkapan seorang aktifis urban
sufism di Jakarta, Rani Angraini, “karena di sinilah peradaban luhur
pertama umat manusia berawal, maka di sini pula peradaban umat manusia
bangkit kembali dan berakhir di penghujung zaman.” Wallahu ‘Alam bi shawab.
http://en.wikipedia.org/wiki/Maitreya_%28Theosophy%29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar