Kolone Kelima
Partai Nazi di Indonesia adalah cabang kedua Partai pimpinan Hitler ini yang didirikan di Asia Pasifik setelah Cina. Dipimpin oleh F.K. Trautmann, partai ini berusaha merekrut orang-orang Jerman yang bermukim di Hindia Belanda. Di antara orang-orang Nazi yang aktif di Hindia Belanda, terdapat Walther Hewel. Salah seorang pembantu dekat Hitler yang pernah dipenjara bersama sang Fuehrer di Landsberg setelah kegagalan putsch di Munich, Hewel bekerja di perkebunan milik orang Eropa di Jawa dan Sumatra sebelum ia akhirnya kembali ke Jerman dan menjadi penghubung Hitler dan Kementerian Luar Negeri Reich.
Selain Partai Nazi yang beroperasi di Hindia Belanda, Hitler juga memiliki antek-antek yang terdiri atas kaum Fasis Belanda, terutama yang bernaung di bawah panji NSB. Partai ini sangat populer di antara orang-orang Belanda yang reaksioner dan konservatif karena sama-sama memusuhi kaum nasionalis Indonesia dan anti-Jepang. Bahkan, saat pemimpinnya, Anton Mussert, mengunjungi Jawa, ia diterima dengan sangat hangat oleh gubernur jenderal Belanda yang reaksioner, de Jong, dan pertemuan-pertemuan yang diadakannya selalu disesaki para anggota dan simpatisan NSB.
Udang di Balik Batu
Keadaan berubah saat Perang Dunia II pecah dan Nazi menduduki Belanda. Pemerintah kolonial membalasnya dengan menangkapi orang-orang Jerman di Hindia Belanda, tidak peduli dia Nazi, anti-Nazi ataupun apolitik. Orang-orang Belanda yang menjadi anggota dan simpatisan NSB juga ditangkapi dan dicampakkan ke kamp-kamp interniran. Tentu saja hal ini mengundang kemarahan Hitler, yang kemudian menangkapi orang-orang Belanda di Negeri Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda, terutama bekas pejabatnya.
Mereka ini dijadikan sandera untuk ditukar dengan orang Jerman yang ditahan di Hindia Belanda. Namun, di balik kedok ini, wakil Hitler, Hermann Goering, bermaksud menjadikan para sandera ini sebagai alat untuk memaksa pemerintah kolonial Belanda agar bersedia menempatkan Hindia Belanda di bawah protektorat Nazi agar Jerman bisa mengeksploitasi kekayaan alamnya.Partai Nazi di Indonesia adalah cabang kedua Partai pimpinan Hitler ini yang didirikan di Asia Pasifik setelah Cina. Dipimpin oleh F.K. Trautmann, partai ini berusaha merekrut orang-orang Jerman yang bermukim di Hindia Belanda. Di antara orang-orang Nazi yang aktif di Hindia Belanda, terdapat Walther Hewel. Salah seorang pembantu dekat Hitler yang pernah dipenjara bersama sang Fuehrer di Landsberg setelah kegagalan putsch di Munich, Hewel bekerja di perkebunan milik orang Eropa di Jawa dan Sumatra sebelum ia akhirnya kembali ke Jerman dan menjadi penghubung Hitler dan Kementerian Luar Negeri Reich.
Selain Partai Nazi yang beroperasi di Hindia Belanda, Hitler juga memiliki antek-antek yang terdiri atas kaum Fasis Belanda, terutama yang bernaung di bawah panji NSB. Partai ini sangat populer di antara orang-orang Belanda yang reaksioner dan konservatif karena sama-sama memusuhi kaum nasionalis Indonesia dan anti-Jepang. Bahkan, saat pemimpinnya, Anton Mussert, mengunjungi Jawa, ia diterima dengan sangat hangat oleh gubernur jenderal Belanda yang reaksioner, de Jong, dan pertemuan-pertemuan yang diadakannya selalu disesaki para anggota dan simpatisan NSB.
Udang di Balik Batu
Keadaan berubah saat Perang Dunia II pecah dan Nazi menduduki Belanda. Pemerintah kolonial membalasnya dengan menangkapi orang-orang Jerman di Hindia Belanda, tidak peduli dia Nazi, anti-Nazi ataupun apolitik. Orang-orang Belanda yang menjadi anggota dan simpatisan NSB juga ditangkapi dan dicampakkan ke kamp-kamp interniran. Tentu saja hal ini mengundang kemarahan Hitler, yang kemudian menangkapi orang-orang Belanda di Negeri Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda, terutama bekas pejabatnya.
Beberapa orang Belanda tertarik dengan tawaran ini, terutama sebagai alat untuk membendung ambisi Jepang terhadap wilayah jajahannya yang kaya itu. Namun karena pemerintah Belanda di pengasingan memutuskan meletakkan nasibnya ke tangan Sekutu, akhirnya tawaran Nazi itu ditolak. Hitler, yang sibuk dengan ambisi imperialisnya di Rusia yang lebih dekat, akhirnya membatalkan maksudnya untuk menguasai Indonesia dan mempersilakan Jepang, sekutu barunya, untuk merebutnya.
Ketika Jepang menyerbu Indonesia, Belanda berusaha keras untuk mengirimkan para tawanan pria Jerman ke luar Hindia Belanda agar tidak dibebaskan oleh sekutu Hitler itu. Namun sebuah pengiriman para tawanan Jerman ke India ternyata dicegat oleh Jepang, yang kemudian membom kapal yang mengangkut mereka hingga tenggelam di lepas pantai barat Sumatra.
Tidak mau ambil pusing dengan nasib warga negara musuh, Belanda membiarkan sebagian besar tawanan dari kapal SS van Imhoff itu tenggelam. Sisa-sisa penumpang yang selamat berhasil tiba di Pulau Nias, di mana mereka menggunakan kekacauan akibat invasi Jepang untuk merebut kekuasaan. Sebuah republic Nias di bawah protektorat Jerman diproklamasikan, tetapi usianya singkat saja dan Nias pun kemudian diambil alih Jepang.
U-Boat di Indonesia
Kekayaan eks Hindia Belanda, alias Indonesia, ternyata masih menggiurkan di mata Hitler, terutama sumber daya alamnya yang penting bagi mesin militer Nazi. Untuk itu, Hitler mengirimkan sejumlah U-Boat ke Asia Tenggara untuk mengangkuti kekayaan alam Indonesia sekaligus menyerang jalur pelayaran Sekutu di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Segera para pelaut Jerman berkeliaran di basis-basis U-Boat yang baru di Batavia dan Surabaya. Mereka juga diperbolehkan beristirahat di kawasan Cikopo, Jawa Barat, di mana mereka bisa menikmati pemandangan alam dan gadis-gadis pemetik teh yang cantik.
Ketika Perang Dunia II usai, sebagian besar para awak U-Boat di Indonesia dipulangkan ke negerinya. Sepuluh di antaranya tidak bisa mengikuti rekan-rekannya dan beristirahat dengan tenang di pemakaman militer Jerman di Cikopo.
Bekas Nazi di Indonesia
Namun kepulangan para awak U-Boat tersebut tidak memutus hubungan antara Nazi dengan Indonesia. Sebaliknya, sejumlah bekas kaki tangan Hitler datang ke Indonesia dalam kapasitas sebagai diplomat, seperti dubes pertama Jerman Barat di Indonesia maupun maupun penasihat ekonomi, seperti Hjalmar Schacht (sayangnya, tangan emas Schacht yang pernah menyelamatkan ekonomi Jerman sebelum Nazi berkuasa dan memantapkannya pada hari-hari pertama rezim Nazi tidak berhasil memperbaiki ekonomi Indonesia di awal kemerdekaan).
U-Boat di Indonesia
Kekayaan eks Hindia Belanda, alias Indonesia, ternyata masih menggiurkan di mata Hitler, terutama sumber daya alamnya yang penting bagi mesin militer Nazi. Untuk itu, Hitler mengirimkan sejumlah U-Boat ke Asia Tenggara untuk mengangkuti kekayaan alam Indonesia sekaligus menyerang jalur pelayaran Sekutu di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Segera para pelaut Jerman berkeliaran di basis-basis U-Boat yang baru di Batavia dan Surabaya. Mereka juga diperbolehkan beristirahat di kawasan Cikopo, Jawa Barat, di mana mereka bisa menikmati pemandangan alam dan gadis-gadis pemetik teh yang cantik.
Ketika Perang Dunia II usai, sebagian besar para awak U-Boat di Indonesia dipulangkan ke negerinya. Sepuluh di antaranya tidak bisa mengikuti rekan-rekannya dan beristirahat dengan tenang di pemakaman militer Jerman di Cikopo.
Bekas Nazi di Indonesia
Namun kepulangan para awak U-Boat tersebut tidak memutus hubungan antara Nazi dengan Indonesia. Sebaliknya, sejumlah bekas kaki tangan Hitler datang ke Indonesia dalam kapasitas sebagai diplomat, seperti dubes pertama Jerman Barat di Indonesia maupun maupun penasihat ekonomi, seperti Hjalmar Schacht (sayangnya, tangan emas Schacht yang pernah menyelamatkan ekonomi Jerman sebelum Nazi berkuasa dan memantapkannya pada hari-hari pertama rezim Nazi tidak berhasil memperbaiki ekonomi Indonesia di awal kemerdekaan).
selain itu, ada juga penjahat perang yang bukan hanya berhasil menutupi kedoknya dengan menyamar sebagai wartawan tetapi bahkan juga menjadi penasihat sekaligus penulis buku biografi Presiden Soeharto, O.G. Roeder. Seorang bekas pemimpin unit pembunuh Einsatzgruppen yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Polandia dan Rusia, pemilik nama asli dikenal sebagai penulis buku The Smiling General—biografi resmi bekas orang kuat Orde Baru.
Nur Hidayah