Dalam kehidupan
ini seseorang hidup dengan kisahnya masing-masing, ada yang terlahir dalam
keluarga yang bahagia, indah, dan menjalani masa-masa kecil yang penuh
kebahagiaan dan kasih sayang. Namun ada pula yang terlahir dalam situasi yang
sangat tidak diinginkan. Menjalani hidup dengan segala himpitan, intinya hidup
tidak memanjakan mereka. Makan seadanya jauh dari yang disebut dengan dengan 4
sehat 5 sempurna terlebih lagi segelas susu adalah makanan mewah bagi mereka. Tak
hanya itu hidup yang keras membuat mereka menjadi anak-anak yang terbiasa di
jalanan. Tidur dengan tempat seadanya tanpa dongeng pengantar tidur, tanpa
bisikan sayang dari orang tua mereka saat akan memejamkan mata. Dan tak pernah
ada kasih hangat yang membangunkan mereka di pagi hari saat membuka mata
seperti anak-anak lain yang beruntung atas belaian hangat seorang ibu yang
membangunkan mereka. Disini hanya dinginnya udara pagi yang menusuk yang
membuat mereka terbangun. Dari semua itu, Seperti kata orang-orang bijak, kuat
atau lemahnya seseorang tergantung dari cara kehidupan membesarkannya. Dan semua
itu jelas dimataku, mereka yang hidup dengan segala perjuangan dan pengorbanan
akan menghasilkan sosok yang tegar, kuat dan tidak cengeng. Mereka tidak pernah
diajarkan untuk mengeluh pada keadaan. Yang mereka tahu hanyalan bagaimana cara
mengatasi semua masalah yang ada di depan mereka. Pasti berbeda dengan mereka
yang terbiasa dengan segala kemudahan. Hidup lengkap dengan apapun yang mereka
butuhkan. Maka saat menjalani masa-masa tersulit mereka cenderung lemah dan
mudah putus asa. Karena saat di besarkan mereka tidak pernah mengalaminya. Mereka
tidak terlatih dalam menghadapi situasi dan keadaan seperti itu. Intinya semakin
berat beban dan penderitaan hidup seseorang semakin kuat ia dalam menghadapi
kehidupan. Begitu juga aku, dulu aku seorang yang manja, lemah, cengeng dan tak
pandai berusaha dalam mendapatkan sesuatu. Tapi semua berubah saat perjalanan
hidup mengajarkanku untuk menjadi seorang lak-laki yang sebenarnya. Ikhlas, sabar,
tegar dan berpasrah kepada Tuhan adalah bagian yang harus dimiliki setiap
manusia dalam menjalani kehidupan ini.
Memulai cerita
ini, Aku dilahirkan di sebuah kota kecil. Pada tanggal 15 januari 1992 pukul
04.24 begitu menurut cerita dari ibuku. Kemudian aku dibesarkan di
tempat-tempat yang berbeda karena kami sering berpindah tempat tinggal untuk
beberapa alasan, saat aku duduk di bangku SD itu adalah tempat tinggal kedua
kami. Disana kehidupanku sangat bahagia, kasih sayang orang tua yang aku
rasakan, perhatian mereka yang tak pernah lepas dariku. Dan masa-masa itu
adalah kenangan masa kecil yang sangat indah. Aku pernah tak tahu ternyata
semua itu tak akan aku rasakan selamanya. Masa-masa itulah kebahagiaan terakhir
yang pernah ku dapatkan dari sebuah keluarga. Tuhan memang maha segalanya dia
bisa membuat segala sesuatu berubah kapanpun dia mau. Saat aku di kelas 2 SMP
keadaan di keluargaku mulai tidak harmonnis. Sering terjadi pertengkaran antara
kedua orang tuaku. Dan beberapa tahun kemudian ketok palu hakim
pengadilan agama resmi memisahkan mereka. Juga merubah segala yang ada dalam
hidupku. Pada saat itu aku ikut ayahku. Hatiku penuh dengan kesakitan, perasaan
yang tak tentu arah. Aku bingung kepada siapa aku mengadu namun yang aku
lakukan hanyalah terdiam dan memendam ini sendiri, berusaha mengatasi semua
beban ini sendiri karena aku bukan orang yang mudah menceritakan sesuatu
tentang diriku kepada orang lain kecuali orang-orang yang benar-benar aku
percaya dan saat itu aku tidak punya orang itu. Setelah sekian lama merenung sampai-sampai
aku berfikir mungkin inilah alasan kenapa Tuhan memberikan seluruh kebahagiaan
itu saat aku masih kecil karena semua tidak pernah lagi akan ku dapatkan saat
ini.
Keadaan
itu telah berhasil merubah drastis segala keceriaan yang selalu muncul dalam
raut wajahku. Keadaan itu berhasil membuatku menjadi sosok yang berbeda.
Sosok yang lebih pendiam dan pemalu. Bahkan keluar rumah pun aku tak berani
sendirian. Aku tak mampu melihat tatapan-tatapan sinis tetanggaku seorang diri,
aku tak mampu mendengarkan cibiran-cibiran mereka, kata-kata sok tau dan
berbeda dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Tak
hanya tetanggaku, bahkan kerabat-kerabat dekatku seakan memusuhi kami. Mereka
terkesan menyingkirkan kami, mereka terkesan tidak mau mengakui kami sebagai
anggota dari keluarga besar mereka. Mereka beranggapan bahwa kami telah merusak
nama baik keluarga. Kembali lagi ingin ku teriakkan keras-keras di hadapan mereka. Apa
ini salah kami? Takdir sudah menentukan jalan hidup kami seperti ini, kami
tidak bisa menolaknya!
Selang
beberapa tahun kemudian, kakekku meninggal dunia. Para kerabatku kembali
menyalahkan kami. Mereka berpikiran bahwa kakekku meninggal
gara-gara terlalu memikirkan segala kekacauan yang terjadi di keluargaku.
Padahal sebenarnya, kakekku sudah lama sakit-sakitan dan dirawat di rumah
sakit. Mungkin meninggalnya kakekku karena sudah waktunya aja. Faktor usia
utamanya. Tapi kerabat-kerabatku seolah tak menyadari hal itu dan tetap menyalahkan
kami.
Kalian
tau? Betapa beratnya beban yang kupikul saat itu, saat usiaku masih begitu
kecil, saat anak-anak lain begitu ceria dengan mainannnya, begitu asyik dengan
hidupnya, tapi aku sudah dilatih untuk berpikir lebih dewasa dan menerima
segala hal dengan apa adanya. Aku dilatih untuk tidak protes akan segala hal
yang berbeda dalam hidupku, hal yang jauh berbeda dengan anak-anak lainnya
seusiaku.
Anak
ayah yang cuma satu-satunya ini anak yang pintar, anak yang nggak cengeng, anak
yang baik yang mau menerima segala hal dengan pemikiran yang baik pula. Jadi,
kamu harus pintar hadapin segala masalah yang mampir di hidup kamu, selesai-in
semuanya dengan penuh tanggung jawab, gak boleh gampang nangis yaa.. , ucap
ayahku seraya mencium keningku.
Ingin
sekali ku teteskan air mataku saat ayah mengungkapkan hal itu. Tapi apalah
dayaku? Aku hanya bisa menahannya, paling nggak aku gak boleh nangis
dihadapannya. Aku emang terbiasa menangis dan meluapkan segala kekesalanku di
tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Aku nggak mau ada orang lain yang
melihatku menangis. Mereka cukup tau aku sebagai bocah kecil yang kuat, yang
tegar dan nggak cengeng. Bagaimana pun juga aku nggak mau ngerubah image ku di
mata mereka.
Semua
kejadian, semua masalah, semua hal-hal yang menurutku begitu berat perlahan
telah berhasil kulalui sedikit demi sedikit. Ketika aku duduk di bangku kelas 1
SMA, ada salah satu temanku yang punya nasib sama denganku berkata, Abangku
udah terpengaruh minum-minuman keras, badannya sekarang menjadi penuh dengan
tatto, sekarang dia memang benar-benar terpengaruh pergaulan bebas, apa aku nanti juga akan jadi seperti dia?. Pertanyaan
itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Dan sontak aku pun menjawab pertanyaan
itu. Semua masalah telah berhasil membuatku menjadi anak yang gak tau
mana yang benar dan mana yang salah, semua begitu berat buat aku lewati.
Semua tergantung dari dirimu sendiri. Kamu anak yang pintar, harusnya kamu tau
mana yang baik dan mana yang gak baik buat hidup kamu. Kalau menurutku kamu gak
usah ikut-ikutan abangmu, kamu gak usah lakuin itu sebagai bentuk protesmu
kepada kedua orang tuamu. Kamu harusnya mampu menunjukkan kepada mereka kalau
kamu masih tetap bisa berprestasi. Iya kalau kamu, tapi aku? Kayaknya
suatu hari nanti aku juga akan jadi kayak abangku deh, lanjutnya. Banyak anak Broken Home di dunia ini yang terlibat pergaulan bebas
setelah ia diterpa banyak masalah. Tapi aku sama sekali tak mau mencoba hal
itu. Bagiku, menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari orang tuaku sebelumnya
adalah hal yang harus aku lakukan. Menjaga nama baik keluarga dan menjaga nama
baik diri sendiri.
Seiring
dengan bertambahnya umurku, seiring itu juga aku dapat memahami apa yang harus
selalu kita lakukan di dunia ini. Sekarang aku sudah kuliah di salah satu
universitas di Kota seberang. Aku kuliah di jurusan pendidikan sebagai calon
seorang guru melanjjutkan profesi ibuku
dan sekarang aku sedang menempuh semester akhir dalam tahap penyusunan skripsi.
Optimis kalau kita bisa, pasti bisa dan harus bisa. Tak seharusnya
kita menjadikan semua masalah sebagai pengganjal kehidupan baru kita. Kita
harusnya menjadikan masalah itu sebagai batu loncatan agar kita bisa menjadi
lebih baik lagi dari sebelumnya. Tentunya dengan belajar menghadapi masalah,
bukan menghindari masalah.
Saat
ini, ibuku sudah menikah lagi. Kerabat-kerabatku pun sudah kembali menjadi
kerabat-kerabat yang baik. Aku tak menjadi anak tunggal lagi di rumahku. karena
ayahku memutuskan untuk menikah lagi dan istri dari ayahku mempunyai seorang
anak laki-laki. Kami cuma beda satu tahun. Aku begitu dekat dengan kakak
laki-laki itu. Rasanya kami seperti saudara kandung. Sekarang
aku benar-benar merasakan bahwa kata-kata. Semua pasti indah pada waktunya
telah terjadi dalam hidupku. Semoga semuanya akan tetap indah seperti sekarang
ini. Tanpa ada pertengkaran lagi yang membuat air mataku menetes.