Enjoy Your Day With a Smile

Rabu, 06 Maret 2013

Story Of Broken Home


Dalam kehidupan ini seseorang hidup dengan kisahnya masing-masing, ada yang terlahir dalam keluarga yang bahagia, indah, dan menjalani masa-masa kecil yang penuh kebahagiaan dan kasih sayang. Namun ada pula yang terlahir dalam situasi yang sangat tidak diinginkan. Menjalani hidup dengan segala himpitan, intinya hidup tidak memanjakan mereka. Makan seadanya jauh dari yang disebut dengan dengan 4 sehat 5 sempurna terlebih lagi segelas susu adalah makanan mewah bagi mereka. Tak hanya itu hidup yang keras membuat mereka menjadi anak-anak yang terbiasa di jalanan. Tidur dengan tempat seadanya tanpa dongeng pengantar tidur, tanpa bisikan sayang dari orang tua mereka saat akan memejamkan mata. Dan tak pernah ada kasih hangat yang membangunkan mereka di pagi hari saat membuka mata seperti anak-anak lain yang beruntung atas belaian hangat seorang ibu yang membangunkan mereka. Disini hanya dinginnya udara pagi yang menusuk yang membuat mereka terbangun. Dari semua itu, Seperti kata orang-orang bijak, kuat atau lemahnya seseorang tergantung dari cara kehidupan membesarkannya. Dan semua itu jelas dimataku, mereka yang hidup dengan segala perjuangan dan pengorbanan akan menghasilkan sosok yang tegar, kuat dan tidak cengeng. Mereka tidak pernah diajarkan untuk mengeluh pada keadaan. Yang mereka tahu hanyalan bagaimana cara mengatasi semua masalah yang ada di depan mereka. Pasti berbeda dengan mereka yang terbiasa dengan segala kemudahan. Hidup lengkap dengan apapun yang mereka butuhkan. Maka saat menjalani masa-masa tersulit mereka cenderung lemah dan mudah putus asa. Karena saat di besarkan mereka tidak pernah mengalaminya. Mereka tidak terlatih dalam menghadapi situasi dan keadaan seperti itu. Intinya semakin berat beban dan penderitaan hidup seseorang semakin kuat ia dalam menghadapi kehidupan. Begitu juga aku, dulu aku seorang yang manja, lemah, cengeng dan tak pandai berusaha dalam mendapatkan sesuatu. Tapi semua berubah saat perjalanan hidup mengajarkanku untuk menjadi seorang lak-laki yang sebenarnya. Ikhlas, sabar, tegar dan berpasrah kepada Tuhan adalah bagian yang harus dimiliki setiap manusia dalam menjalani kehidupan ini.

Memulai cerita ini, Aku dilahirkan di sebuah kota kecil. Pada tanggal 15 januari 1992 pukul 04.24 begitu menurut cerita dari ibuku. Kemudian aku dibesarkan di tempat-tempat yang berbeda karena kami sering berpindah tempat tinggal untuk beberapa alasan, saat aku duduk di bangku SD itu adalah tempat tinggal kedua kami. Disana kehidupanku sangat bahagia, kasih sayang orang tua yang aku rasakan, perhatian mereka yang tak pernah lepas dariku. Dan masa-masa itu adalah kenangan masa kecil yang sangat indah. Aku pernah tak tahu ternyata semua itu tak akan aku rasakan selamanya. Masa-masa itulah kebahagiaan terakhir yang pernah ku dapatkan dari sebuah keluarga. Tuhan memang maha segalanya dia bisa membuat segala sesuatu berubah kapanpun dia mau. Saat aku di kelas 2 SMP keadaan di keluargaku mulai tidak harmonnis. Sering terjadi pertengkaran antara kedua orang tuaku. Dan beberapa tahun kemudian ketok palu hakim pengadilan agama resmi memisahkan mereka. Juga merubah segala yang ada dalam hidupku. Pada saat itu aku ikut ayahku. Hatiku penuh dengan kesakitan, perasaan yang tak tentu arah. Aku bingung kepada siapa aku mengadu namun yang aku lakukan hanyalah terdiam dan memendam ini sendiri, berusaha mengatasi semua beban ini sendiri karena aku bukan orang yang mudah menceritakan sesuatu tentang diriku kepada orang lain kecuali orang-orang yang benar-benar aku percaya dan saat itu aku tidak punya orang itu. Setelah sekian lama merenung sampai-sampai aku berfikir mungkin inilah alasan kenapa Tuhan memberikan seluruh kebahagiaan itu saat aku masih kecil karena semua tidak pernah lagi akan ku dapatkan saat ini.

Keadaan itu telah berhasil merubah drastis segala keceriaan yang selalu muncul dalam raut wajahku. Keadaan itu berhasil membuatku menjadi sosok yang berbeda. Sosok yang lebih pendiam dan pemalu. Bahkan keluar rumah pun aku tak berani sendirian. Aku tak mampu melihat tatapan-tatapan sinis tetanggaku seorang diri, aku tak mampu mendengarkan cibiran-cibiran mereka, kata-kata sok tau dan berbeda dengan apa yang terjadi sebenarnya.

Tak hanya tetanggaku, bahkan kerabat-kerabat dekatku seakan memusuhi kami. Mereka terkesan menyingkirkan kami, mereka terkesan tidak mau mengakui kami sebagai anggota dari keluarga besar mereka. Mereka beranggapan bahwa kami telah merusak nama baik keluarga. Kembali lagi ingin ku teriakkan keras-keras di hadapan mereka. Apa ini salah kami? Takdir sudah menentukan jalan hidup kami seperti ini, kami tidak bisa menolaknya!

Selang beberapa tahun kemudian, kakekku meninggal dunia. Para kerabatku kembali menyalahkan kami. Mereka berpikiran bahwa kakekku meninggal gara-gara terlalu memikirkan segala kekacauan yang terjadi di keluargaku. Padahal sebenarnya, kakekku sudah lama sakit-sakitan dan dirawat di rumah sakit. Mungkin meninggalnya kakekku karena sudah waktunya aja. Faktor usia utamanya. Tapi kerabat-kerabatku seolah tak menyadari hal itu dan tetap menyalahkan kami.

Kalian tau? Betapa beratnya beban yang kupikul saat itu, saat usiaku masih begitu kecil, saat anak-anak lain begitu ceria dengan mainannnya, begitu asyik dengan hidupnya, tapi aku sudah dilatih untuk berpikir lebih dewasa dan menerima segala hal dengan apa adanya. Aku dilatih untuk tidak protes akan segala hal yang berbeda dalam hidupku, hal yang jauh berbeda dengan anak-anak lainnya seusiaku.

Anak ayah yang cuma satu-satunya ini anak yang pintar, anak yang nggak cengeng, anak yang baik yang mau menerima segala hal dengan pemikiran yang baik pula. Jadi, kamu harus pintar hadapin segala masalah yang mampir di hidup kamu, selesai-in semuanya dengan penuh tanggung jawab, gak boleh gampang nangis yaa.. , ucap ayahku seraya mencium keningku.

Ingin sekali ku teteskan air mataku saat ayah mengungkapkan hal itu. Tapi apalah dayaku? Aku hanya bisa menahannya, paling nggak aku gak boleh nangis dihadapannya. Aku emang terbiasa menangis dan meluapkan segala kekesalanku di tempat yang sepi, jauh dari keramaian. Aku nggak mau ada orang lain yang melihatku menangis. Mereka cukup tau aku sebagai bocah kecil yang kuat, yang tegar dan nggak cengeng. Bagaimana pun juga aku nggak mau ngerubah image ku di mata mereka.

Semua kejadian, semua masalah, semua hal-hal yang menurutku begitu berat perlahan telah berhasil kulalui sedikit demi sedikit. Ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMA, ada salah satu temanku yang punya nasib sama denganku berkata, Abangku udah terpengaruh minum-minuman keras, badannya sekarang menjadi penuh dengan tatto, sekarang dia memang benar-benar terpengaruh pergaulan bebas, apa aku nanti juga akan jadi seperti dia?. Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Dan sontak aku pun menjawab pertanyaan itu. Semua masalah telah berhasil membuatku menjadi anak yang gak tau mana yang benar dan mana yang salah, semua begitu berat buat aku lewati. Semua tergantung dari dirimu sendiri. Kamu anak yang pintar, harusnya kamu tau mana yang baik dan mana yang gak baik buat hidup kamu. Kalau menurutku kamu gak usah ikut-ikutan abangmu, kamu gak usah lakuin itu sebagai bentuk protesmu kepada kedua orang tuamu. Kamu harusnya mampu menunjukkan kepada mereka kalau kamu masih tetap bisa berprestasi. Iya kalau kamu, tapi aku? Kayaknya suatu hari nanti aku juga akan jadi kayak abangku deh, lanjutnya. Banyak anak Broken Home di dunia ini yang terlibat pergaulan bebas setelah ia diterpa banyak masalah. Tapi aku sama sekali tak mau mencoba hal itu. Bagiku, menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari orang tuaku sebelumnya adalah hal yang harus aku lakukan. Menjaga nama baik keluarga dan menjaga nama baik diri sendiri.

Seiring dengan bertambahnya umurku, seiring itu juga aku dapat memahami apa yang harus selalu kita lakukan di dunia ini. Sekarang aku sudah kuliah di salah satu universitas di Kota seberang. Aku kuliah di jurusan pendidikan sebagai calon seorang guru melanjjutkan  profesi ibuku dan sekarang aku sedang menempuh semester akhir dalam tahap penyusunan skripsi. Optimis kalau kita bisa, pasti bisa dan harus bisa. Tak seharusnya kita menjadikan semua masalah sebagai pengganjal kehidupan baru kita. Kita harusnya menjadikan masalah itu sebagai batu loncatan agar kita bisa menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Tentunya dengan belajar menghadapi masalah, bukan menghindari masalah.

Saat ini, ibuku sudah menikah lagi. Kerabat-kerabatku pun sudah kembali menjadi kerabat-kerabat yang baik. Aku tak menjadi anak tunggal lagi di rumahku. karena ayahku memutuskan untuk menikah lagi dan istri dari ayahku mempunyai seorang anak laki-laki. Kami cuma beda satu tahun. Aku begitu dekat dengan kakak laki-laki itu. Rasanya kami seperti saudara kandung. Sekarang aku benar-benar merasakan bahwa kata-kata. Semua pasti indah pada waktunya telah terjadi dalam hidupku. Semoga semuanya akan tetap indah seperti sekarang ini. Tanpa ada pertengkaran lagi yang membuat air mataku menetes.
READ MORE - Story Of Broken Home

Most Popular