Dhamna merupakan nama istana Kerajaan Kandis. Secara turun-temurun cerita/tombonya masih tetap ada disampaikan dari generasi ke generasi. Masyarakat Lubuk Jambi meyakini istana ini masih ada, namun tertimbun dan sudah tertutupi oleh hutan yang lebat, atau lenyap dari pandangan manusia. Dalam ceritanya lokasi Istana Dhamna ini pada pertemuan dua sungai.
Namun sampai saat ini belum pernah melakukan penelusuran ke lokasi yang dimaksud. Diyakini Istananya masih utuh karena peradaban Kandis sudah sangat maju, peralatannya terbuat dari emas, perak dan perunggu.
Cerita Istana Dhamna mirip dengan cerita Benua Atlantis yang pertama kali ditulis dalam sebuah dialogue karya Plato yang berjudul Timateus and Critias sekitar tahun 370 SM, disana dikatakan ada negeri subur, makmur, dan berteknologi maju. Negeri itu hancur karena bencana alam, Plato sendiri mendapat kisah ini dari penduduk Mesir, dan orang di Mesir menyebutnya Keftiu.
Cerita Istana Dhamna mirip dengan cerita Benua Atlantis yang pertama kali ditulis dalam sebuah dialogue karya Plato yang berjudul Timateus and Critias sekitar tahun 370 SM, disana dikatakan ada negeri subur, makmur, dan berteknologi maju. Negeri itu hancur karena bencana alam, Plato sendiri mendapat kisah ini dari penduduk Mesir, dan orang di Mesir menyebutnya Keftiu.
Atlantis itu artinya : Tanahnya Atlas – Negeri 2 pilar/tiang yang bisa diartikan sebagai negeri dengan pegunungan-pegunungan. Atlantis dikenal sangat subur, makmur, berteknologi tinggi, dengan kota berbentuk lingkaran/cincin yang tersusun daratan dan perairan secara berurutan, negeri ini disusun berdasarkan perhitungan matematika yang tepat dan efisien sehingga tertata dengan rapi dengan sebuah istana megah tepat di pusat kota sebagai pusat pemerintahan. Penduduk Atlantis terbagi dua, yang satu adalah turunan bangsa Lemuria yang berkulit putih, tinggi, bermata biru dan berambut pirangan, yang merupakan nenek moyang suku bangsa arya, sedang satunya lagi berkulit coklat/hitam, relatif pendek, bermata coklat, dan berambut hitam.
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang. Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.
Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Portugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu dan teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat berdasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan kekhilafan, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditantang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu.
Lenyapnya Negeri Atlas disebabkan karena peristiwa besar terjadi, yaitu terjadinya letusan besar dari dua gunung berapi (pilar) yang mengapit, yaitu Krakatoa dan Toba. Saking dahsyatnya seluruh bumi berguncang hebat sehingga menimbulkan tsunami yang maha dahsyat, lebih hebat dari pada tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004. Gunung krakatoa dan toba adalah gunung prasejarah yang berukuran sangat besar, gunung krakatoa sekarang dan danau toba adalah kaldera raksasa yang tercipta akibat letusan tersebut. Letusan gunung toba sampai saat ini belum tau pasti kapan terjadinya, namun letusan Karaktoa yang paling dahsyat diketahui terjadi pada tahun 1883 M (puncak letusan Krakatoa).
Istana Dhamna menurut tombo/cerita bukan tenggelam ke dasar lautan, akan tetapi diduga kuat tertimbun akibat abu vulkanik dari dua gunung yang bersamaan meletus. Lokasi Istana Dhamna tersebut adalah di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau. Apakah Istana Dhamna yang dimaksud oleh Plato sebagai Benua Atlantik? Suatu pertanyaan yang belum terjawab.
Istana Dhamna menurut tombo/cerita bukan tenggelam ke dasar lautan, akan tetapi diduga kuat tertimbun akibat abu vulkanik dari dua gunung yang bersamaan meletus. Lokasi Istana Dhamna tersebut adalah di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau. Apakah Istana Dhamna yang dimaksud oleh Plato sebagai Benua Atlantik? Suatu pertanyaan yang belum terjawab.
Pulau Sumatera dalam Lintasan Sejarah
Pulau Perca adalah salah satu sebutan dari nama Pulau Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama sesuai dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya merupakan satu benua yang terhampar luas di bagian selatan belahan bumi. Karena perubahan pergerakan kulit bumi, maka ada benua-benua yang tenggelam ke dasar lautan dan timbul pulau-pulau yang berserakan. Pulau Perca ini timbul terputus-putus berjejer dari utara ke selatan yang dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera bagaikan guntingan kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau Sumatera telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali pergantian nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Atlas, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan terakhir Pulau Sumatra.
Pulau Perca adalah salah satu sebutan dari nama Pulau Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama sesuai dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya merupakan satu benua yang terhampar luas di bagian selatan belahan bumi. Karena perubahan pergerakan kulit bumi, maka ada benua-benua yang tenggelam ke dasar lautan dan timbul pulau-pulau yang berserakan. Pulau Perca ini timbul terputus-putus berjejer dari utara ke selatan yang dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera bagaikan guntingan kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau Sumatera telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali pergantian nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Atlas, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan terakhir Pulau Sumatra.
Pulau Perca terletak berdampingan dengan Semenanjung Malaka yang dibatasi oleh Selat Malaka dibagian Timur dan Samudra Hindia sebelah barat sebagai pembatas dengan Benua Afrika. Pulau Perca berdekatan dengan Semenanjung Malaka, maka jelas daerah yang dihuni manusia pertama kalinya berada di Pantai Timur Pulau Perca karena lebih mudah dijangkau dari pada Pantai bagian barat. Pulau Perca yang timbul merupakan Bukit Barisan yang berjejer dari utara ke selatan, dan yang paling dekat dengan Semenanjung Malaka diperkirakan adalah Bukit Barisan yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi sekarang, tepatnya adalah Bukit Bakar yang bertalian dengan Bukit Betabuh dan Bukit Selasih, sedangkan daratan yang rendah masih berada di bawah permukaan laut.
Istana Dhamna Sebagai Pusat Kerajaan Kandis
Ratusan tahun sebelum Masehi Bukit Bakar mulai didatangi oleh Pendatang yang kurang jelas asal usulnya. Populasi penduduk makin lama makin berkembang, yang akhirnya memerlukan suatu aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian berdirilah Kerajaan Kandis di Bukit Bakar yang diperintah oleh Raja Darmaswara yang disingkat dengan Daswara. Raja Darmaswara dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh Patih dan Temenggung serta Mentri Perdagangan. Darmaswara membangun sebuah istana yang megah sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama dengan Istana Dhamna.
Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang, dari hasil bumi seperti emas, perak, dan lain-lain. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Raja Darmaswara memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.
Ratusan tahun sebelum Masehi Bukit Bakar mulai didatangi oleh Pendatang yang kurang jelas asal usulnya. Populasi penduduk makin lama makin berkembang, yang akhirnya memerlukan suatu aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian berdirilah Kerajaan Kandis di Bukit Bakar yang diperintah oleh Raja Darmaswara yang disingkat dengan Daswara. Raja Darmaswara dalam menjalankan roda pemerintahannya dibantu oleh Patih dan Temenggung serta Mentri Perdagangan. Darmaswara membangun sebuah istana yang megah sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama dengan Istana Dhamna.
Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang, dari hasil bumi seperti emas, perak, dan lain-lain. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Raja Darmaswara memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.
Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung Malaka oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis dan Malaka selama berabad-abad sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka dan meninggalkan sejarah Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna kepada anak istrinya di Malaka dan Kepulauan Riau.
Raja Darmaswara memerintah dengan adil dan bijaksana. Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain diantaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya berdirilah kerajaan Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.
Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut, sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir sekarang).
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Merapi (Sumatra Barat sekarang).
Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan Patih dan Temenggung lari ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) dimana keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi Dt. Ketemenggungan. Kedua Tokoh inilah yang menjadi Tokoh Legendaris Minangkabau.
Setelah kerajaan Kandis mengalahkan Kerajaan Koto Alang, Kandis memindahkan pusat pemerintahannya ke Taluk Kuantan oleh Raja Darmaswara (tidak diketahui Raja Darmaswara yang ke berapa). Pemindahan pusat pemerintahan Kandis ini disebabkan oleh bencana alam (tidak diketahui tahun terjadinya) yang mengakibatkan Istana Dhamna hilang tertimbun tanah atau mungkin oleh perbuatan makhluk halus yang menghilangkan istana dari pandangan manusia.
Istana Dhamna yang hilang ini pernah diperlihatkan pada tahun 1984 kepada 7 (tujuh) orang Lubuk Jambi yang waktu itu mencari goa sarang layang-layang (walet) yang dipimpin oleh seorang guru Tharekat yang bergelar Pokiah Lunak. Mereka melihat istana itu lengkap dengan pagar batu disekelilingnya. Pada tahun 1986 untuk kedua kalinya pagar istana diperlihatkan kepada tiga orang yang sedang mencari rotan/manau. Berita penemuan Istana ini menyebar dan besok harinya banyak penduduk pergi ingin melihatnya, namun tidak ditemukan lagi. Begitulah sebagai bukti istana yang hilang yang bernama Istana Dhamna sebagai peninggalan sejarah Kerajaan Kandis, satu kerajaan yang tertua di Indonesia.
Pada tahun 1375 M Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketemenggungan dan beberapa orang lainnya hilir berakit kulim sebagai napak tilas pertama menelusuri negeri asal mereka melalui sungai keruh sesuai dengan peninggalan sejarah dari leluhurnya Dt. Perpatih Nan Sabatang yang pertama pindah ke Sumatra Barat. Dalam pelaksanaan hilir berakit tersebut banyak kesulitan karena sungai masih sempit banyak kayu dan akar yang menjuntai ke sungai, sehingga rakit sering tersangkut. Untuk mengelakkan halangan ini Dt. Perpatih Nan Sabatang selalu memerintahkan kuak-kan-tan, yang akhirnya Dt. Perpatih Nan Sabatang merubah nama Sungai Keruh menjadi Batang Kuantan yang berasal dari kata kuak-kan-tan.
Setelah mereka sampai di Kerajaan Kandis Dt. Perpatih Nan Sabatang menukar nama Kerajaan Kandis dengan Kerajaan Kuantan yang pada waktu itu kerajaan Kandis diperintah oleh tiga Orang Godang, yaitu Dt. Bandaro Lelo Budi dari Kari, Dt. Pobo dari Kopah dan Dt. Simambang dari Sentajo yang selanjutnya dikenal dengan Tri Buana. Pemerintahan dipegang oleh Orang Godang disebabkan karena terputusnya Putra Mahkota dari Raja Darmaswara.
Dt. Perpatih Nan Sabatang mengadakan pertemuan dengan ketiga Orang Godang tersebut serta menghadirkan pemuka masyarakat lainnya di Balai Tanah Bukik Limpato Inuman untuk memusyawarahkan persyaratan berdirinya satu Nagori di daerah Kuantan.
Pada tahun 1425 M Kerajaan Kuantan menerima tamu kehormatan yang berasal dari Kerajaan Chola dari India Selatan, yaitu Natan Sang Sita Sangkala dengan julukan Sang Sapurba. Sang Sapurba kawin di Semenanjung Malaka dengan Putri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Putri Lebar Daun dan mendapatkan anak empat orang yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka, Putri Candra Dewi dan Putri Bilal Daun. Sesampainya di Kerajaan Kuantan Sang Sapurba diminta oleh Dt. Bandaro Lelo Budi, Dt. Pobo dan Dt. Simambang menjadi raja di Kerajaan Kuantan. Sang Sapurba menerima tawaran tersebut.
Kerajaan Kuantan yang berpusat di Sintuo dibawah pemerintahan Sang Sapurba tidak banyak mencapai kemajuan. Peninggalan Raja Sang Sapurba hanya membuat danau Raja untuk pemeliharaan buaya di Paruso, membuat sumur dan kolam raja yang sampai sekarang masih ada bukti peninggalan Sang Sapurba tersebut. Disamping itu Sang Sapurba membunuh naga (ular) yang besar dengan keris Ganjar Iyas karena naga (ular) tersebut telah meresahkan masyarakat. Tempat mati naga (ular) tersebut diberi nama Punago artinya punah naga. Sedangkan Teluk Kuantan sekarang dijadikannya pelabuhan dagang.
Pada tahun 1435 M Sang Sapurba yang datang dengan Ceti Bilang Pandai di Kerajaan Kuantan mohon diri dan melanjutkan perjalanan ke hulu Batang Kuantan (Sumatra Barat sekarang atau Minangkabau) dan menuju Pagaruyung di Tanah Datar. Sepeninggal Sang Sapurba berdirilah kerajaan-kerajaan kecil di Kuantan dan hilang fungsi Orang Godang nan batigo yang membantu Sang Sapurba dalam kerajaan Kuantan.
Penyebaran keturunan kerajaan Kandis ke berbagai daerah di Sumatra ditandai dengan persamaan bahasa dengan bahasa orang Kuantan seperti ke Payakumbuh, Sibolga, Tapak Tuan, daerah Kampar, Jambi, Bengkulu dan daerah-daerah di Sumatra Barat.
Bukti-bukti Sejarah daerah Kuantan di Bawah Permukaan Laut
Bukti daerah Kuantan dibawah permukaan laut dimasa Sumatra bernama Pulau Perca diantaranya adalah:
• Adanya tempat bernama Rawang Ojung (kapal kayu), ditempat ini dahulunya Ojung menjatuhkan sauh/jangkar (di Desa Pulau Binjai sekarang).
• Adanya tempat bernama Rawang Ojung (kapal kayu), ditempat ini dahulunya Ojung menjatuhkan sauh/jangkar (di Desa Pulau Binjai sekarang).
• Adanya tempat bernama Rawang Ojung/Rawang Tekuluk (di Desa Sangau sekarang).
• Ditemukannya fosil kerang laut di Sosokpan pada tahun 1982 oleh penduduk waktu menggali tanah membuat kebun. Dinamakan tempat ini dengan Sosokpan maksudnya ditempat ini dahulunya binatang menyosok/minum ke tepi pantai.
• Adanya nama tempat bernama Sintongah di Desa Sangau, dimana Raja Sintong (Raja Sriwijaya) mengadakan ekspedisi ke Kerajaan Kancil Putih dan ditempat ini mereka menjatuhkan jangkar, sehingga tempat ini dinamakan Sintongah.
• Pada tahun 2000 M ditemukan batu laut di daerah Cengar oleh seorang Mahasiswa Arkeologi dari Universitas Hasanudin Makasar.
Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Kandis:
• Bekas penambangan emas yang disebut dengan tambang titah, artinya diadakan penambangan emas atas titah Raja Darmaswara. Lokasinya dikaki Bukit Bakar bagian timur yang lobang-lobang bekas penambangan telah ditumbuhi kayu-kayuan.
• Bekas penambangan emas yang disebut dengan tambang titah, artinya diadakan penambangan emas atas titah Raja Darmaswara. Lokasinya dikaki Bukit Bakar bagian timur yang lobang-lobang bekas penambangan telah ditumbuhi kayu-kayuan.
• Adanya daerah yang bernama Muaro Tombang (Muara Tambang) yang terletak di sebelah hilir tambang titah.
• Istana Dhamna yang berlokasi di Bukit Bakar (belum terungkap).
Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Koto Alang:
Bukti-bukti Peninggalan Kerajaan Koto Alang:
• Adanya tempat yang disebut Padang Candi di Dusun Botung (Desa Sangau), menandakan Kerajaan Koto Alang menganut agama Hindu. Pada tahun 1955 M pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol, dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya. Dilokasi tersebut ditemukan potongan-potongan batu bata candi.
• Dilain tempat telah berulang kali diadakan penggalian liar dari situs Kerajaan Koto Alang tanpa diketahui maksud dan tujuan oleh penduduk dan tanpa sepengetahuan Pemangku Adat dan Pemerintah. Penggalian tersebut dilakukan dimana diperkirakan letaknya istana Koto Alang di Dusun Botung tersebut.
• Pada tahun 1970-an banyak penemuan masyarakat yang mendulang emas seperti cincin, gelang, penjahit emas, dan mata pancing dari emas.
• Pada tahun 1967 ditemukan tutup periuk dari emas di dalam sungai Kuantan. Tutup periuk emas ini diambil oleh pihak yang berwajib dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Diperkirakana tutup periuk ini terbawa arus sungai yang berasal dari tebing yang runtuh disekitar Kerajaan Koto Alang.
• Pada tahun 1967 ditemukan tutup periuk dari emas di dalam sungai Kuantan. Tutup periuk emas ini diambil oleh pihak yang berwajib dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Diperkirakana tutup periuk ini terbawa arus sungai yang berasal dari tebing yang runtuh disekitar Kerajaan Koto Alang.
• Pada tahun 2007 dilakukan penggalian oleh Badan Purbakala Batu Sangkar bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau tanpa sepengatahuan Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah. Pada penggalian sebelumnya mereka menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis pada kepingan emas yang saat ini tidak diketahui keberadaannya.
• Adanya sungai yang mengalir dipinggir Padang Candi yang disebut dengan Sungai Salo yang berasal dari kata Raja Bukak Selo karena dikalahkan oleh Kerajaan Kandis.
• Adanya tempat bernama Lopak Gajah Mati sebelah selatan Pasar Lubuk Jambi. Tempat itu merupakan tempat Gajah Tunggal mati dibunuh oleh Raja Koto Alang yang dibunuh dengan lembing sogar jantan. Disebut Gajah Tunggal karena gading gajah tersebut hanya satu sebelah kiri kepalanya. Gading tersebut telah dijual pada tahun 1976 karena tidak tahu nilai sejarahnya. Didalam kepala gajah ditemukan sebuah mustika yang sangat indah sebesar bola pimpong. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah Mati dinamakan dengan Batang Simujur, artinya mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.
Bukti Kerajaan Kancil Putih
• Adanya ekspedisi Raja Sintong (Raja Sriwijaya) ke Kerajaan Kancil Putih, sehingga ada nama tempat Sintongah di Desa Sangau.
Demikianlah gambaran singkat tentang Pulau Atlas, Istana Dhamna, Kerajaan Kandis dan beberapa kerajaan yang pernah ada di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau (peta dan letak lokasinya dipegang oleh tim penelusuran peninggalan kerajaan Kandis yang dibentuk oleh Pemangku Adat Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal). Kalau Kerajaan Kandis ini Benua Atlantis yang dimaksud oleh Plato, berarti peninggalan Kerajaan Kandis termasuk warisan budaya dunia. Oleh karena itu partisipasi berbagai pihak (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemangku Adat dan masyarakat setempat) sangat menentukan dalam mengungkap kembali pusat peradaban dunia tersebut.
Demikianlah gambaran singkat tentang Pulau Atlas, Istana Dhamna, Kerajaan Kandis dan beberapa kerajaan yang pernah ada di Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau (peta dan letak lokasinya dipegang oleh tim penelusuran peninggalan kerajaan Kandis yang dibentuk oleh Pemangku Adat Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal). Kalau Kerajaan Kandis ini Benua Atlantis yang dimaksud oleh Plato, berarti peninggalan Kerajaan Kandis termasuk warisan budaya dunia. Oleh karena itu partisipasi berbagai pihak (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemangku Adat dan masyarakat setempat) sangat menentukan dalam mengungkap kembali pusat peradaban dunia tersebut.
Ini hanyalah sebuah analisis pemikiran tanpa dasar ilmiah yang kuat, jadi sampai saat ini catatan tentang kerajaan Kandis sangat Minim, mungkin hanya terdapat dalam Kitab Negara Kertagama, mohon masukan dari yang lebih ahli, tentang Kerajan kandis
Kerajaan Kandis adalah kerajaan tertua yang berdiri di Sumatera, yang terletak di Koto Alang, masuk wilayah Lubuk Jambi, Kuantan, Riau.
Kerajaan ini diperkirakan berdiri sebelum Masehi, mendahului berdirinya kerajaan Moloyou atau Dharmasraya.
Dua tokoh yang sering disebut sebagai raja kerajaan ini adalah Patih dan Tumenggung.
Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari keturunan waliyullah Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra). Ketika berlabuh di Pulau Emas, Maharaja Diraja dan rombongannya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah ini merupakan daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang jernih.
Maharaja Diraja sesampainya di Bukit Bakau membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna. Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk Rajo Tunggal (lebih akrab dipanggil). Datuk Rajo Tunggal memiliki senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo Dirajo. Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan Kandis. Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.
Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang, dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Rajo Tunggal memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.
Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung Melayu oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis dan Malaka sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu.
Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil dan bijaksana. Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain di antaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya berdirilah kerajaan Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.
Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut, sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir sekarang).
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Merapi.
Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan Patih dan Temenggung lari ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) di mana keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi Dt. Ketemenggungan.
Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar kerajaan Kandis mati terbunuh diserang oleh Raja Sintong dari Cina belakang, dengan ekspedisinya dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat berlabuhnya kapal Raja Sintong, dinamakan dengan Sintonga. Setelah mengalahkan Kandis, Raja Sintong beserta prajuritnya melanjutkan perjalanan ke Jambi. Setelah kalah perang pemuka kerajaan Kandis berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh, maka mereka sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah. Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar